Senin, 12 Desember 2011

Pemuda Dan Kemiskinan

 Kata” muda” dan “ pemuda “ menjadi momok  dan hantu pemberontakan atau perlawanan yang paling menakutkan bagi kejumudan  sistem dan rezim status quo sejak akhir abad 19-san di Bumi Nusantara Indonesia. Istilah “ muda “ sendiri identik dengan semangat kebaruaan dari sistem zaman yang statis. Harapan akan kemudaan dan perubahan zaman pada masa lalu adalah embrio dari Pergerakan Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), hingga titik kulminasi Kemerdekaan Indonesia (1945). Semua itu merupakan suatu capayaan cengkraman kejumudaan sistem kolonial yang dimotori oleh kaum muda melalui basis dan kesegaran gagasan serta idealisme akan keadilan bersama. Ide-ide yang diberangi kemampuan strategi kaum muda pada awal abad 20-an adalah simbol spirit pembebasan dari rasa kegentiran akibat ketidakadilan imprealisme dan kolonialisme.
   Kepeloporan pemuda adalah kriteria kejiwaan muda itu sendiri. Kemudaan atau kepemudaan bukan sekedar kriteria usia. Kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan dan cita-cita luhur kebangsaan. Satu kebaruan cara pandang yang memutuskan hubungan dengan tradisi kejumudan masa lalu yaitu sikap berani memperjuangkan visi dan misi perubahan yang menjajikan pencerahan pada masa depan. Akan tetapi mereka (kaum muda) yang senantiasa berani mengeban visi perubahan lebih tumbuh dari mereka yang tidak digeluti beban pada masa lalu. Meminjam dari pandangan Bung Hatta, dengan kemampuaan membebaskan diri dari hipnosa kolonial, generasi kaum terdidik lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoritis bagi aksi-aksi kolektif. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila orang –orang muda berada pada tonggak-tonggak terpentig  pembangunan pada bangsa ini. Para pemuda pada masa itu sudah mulai mengebankan  Perhimpunan Indonesia, Kelompok-Kelompok Studi Pergerakan, serta Partai-Partai Nasional sejak tahun 1928, bahkan revolusi kemerdekaan tahun 1940-an dilukiskan Ben Adreson sebagai revolusi pemuda.  Roh atau jiwa cita-cita di ataslah yang kemudian membunyikan lonceng revolusi secara serentak berdentang diseluruh nusantara. Hal-hal ini yang menyebabkan momentum bangkitnya pemuda nusantara menjadi satu kesatuan politik  dalam bingkai nasionalisme yang bersandar pada perasaan sama  yaitu keterjajahan dari bangsa asing.  Ikatan solidaritas oleh Liqua France kemudian meletup bagai bom molotov membunyikan lonceng kematian para kolonialis dinegeri ini.  Nasionalisme yang diusung kaum muda seperti Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Ntsir, dan karib seperjuangan adalah bentuk semangat perlawanan yang bersandar pada cita-cita etis, yaitu kekitaan yang merata, kesetaraan, dan kedaulatan suatu bangsa. Bentuk kesatuan nasionalisme yang diusung kaum muda sama yang dilukiskan oleh Benedict Anderson sebagai cita-cita komunitas terbayang, “imagined komunity”. Rasa keterjajahan yang bergelora menjadi kotak pandora kemerdekaan 1945 yang diproklamasikan Soekarno-Hatta.
 Setengah abad lebih Indonesia merdeka.  Ketidak adilan masih melekat dalam tubuh bangsa. Ketika rakyat tidak beranjak dari predikat miskin dan partisipasi elmen-elemen bangsa dalam membangun  kesejahteraan bersama yang dipupuk para funding father melalui jalan terjal dan berdarah-darah. Misalnya pemuda pada masa lalu sebagai penggerak ide pembebasan dan penyegaran ide kebangsaan Indonesia sekaligus sebagai pembakar semangat perlawanan akan ketidakadilan. Singkatnya, ia (pemuda)  adalah agen perubahan (agen of change). Semangat pengawal keadilan sosial seakan mengalami keredupan di tengah meruahnya budaya hedonisme, konsumerisme, dan krisis ekonomi politik yang menyebabkan frustasi sosial dan punahnya harapan. Sebagai generasi penerus bangsa mengalami penurunan semangat,  pemuda pembebasan dan menjadi beban negara. Ini sangat kontradiktif dengan cita-cita bangsa kita. Kemiskinan tidak berakar ada masalah yang tunggal. Artinya, kemiskinan tidak disebakan oleh kekeliruan distribusi keadilan oleh sebuah lembaga negara semata. Akan tetapi, banyak faktor yang melatar belakangi kemiskinan terjadi. Pertama, kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebakan oleh budaya dan mentalitas kemandirian ekonomi yang tidak terbangun ditingkatan masyrakat. Kedua, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kekaburan penyelenggara distribusi keadilan oleh lembaga negara. Singkatnya dapat dilihat dari maraknya penyelewengan anggaran negara untuk kepentingan publik melalui korupsi. Ketiga, kemiskinan natural adalah  kemiskinan yang diakibatkan oleh kondisi fisik masyarakat dan tidak dapat melakukan aktivitas ekonomi (cacat fisik).
  Beberapa faktor di atas bersaling silang dalam dunia kepemudaan sehingga menegelamkan dunia, cita-cita dan dunia imajinasi politik kaum muda. Ironisnya kaum muda justru terperosok tenggelam dalam opium kebudayaan masif, narkoba, kriminallitas, dan seterusnya yang menjalar pada kehidupan pemuda, sehingga metafora kaum muda sebagai agen of change retak bagai labirin yang sulit ditangkap dari manamuasal dari mana krisis ini.Pertanyaan sekarang di mana mimpi dari gerakan pembebasan dari funding father bangsa ini yang hingga kini masih berada dalam menara gading. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena kemerdekaan yang selama ini tidak diikuti oleh transformasi sosial dan kehidupan  yang layak bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, para pemuda seakan-akan telah memasuki lorong- lorong gelap dan harapan-harapan yang penuh dengan kantong- kantong ketidak pastian  kerja dan aktualisasi diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar